31 Desember 2008

Puisi
Ahmad Surkati AR

Antara Mawar dan Melati

Mungkin umur itu adalah hidup kita
Yang tumbuh tak pernah terawat
Mengingat tubuh ini tiba tiba membesar

Tidak seperti bunga hiasan halaman rumah
Ada mawar, melati dan kamboja yang mengingatkan
Masa bercinta remaja
Taburan pusaran
Dan tanaman rindang tempat berteduh penziarah

Tiap hari ada saja yang merawatnya
Sewaktu waktu dipungut
Dipersembahkan kepada sang pencinta

Betapa betahnya dia menunggu
Saat kunjungan datang untuk berpisah
Melati yang jatuh
Terserak diantara mawar yang ditangisi

Tanjung, 4 Januari 2008




Puisi Ahmad Surkati AR

Usai Kejadian

Sesudah hujan
jalan raya terbentang di sisi rumahmu itu
Akan mengering dengan sendirinya
Justru inilah yang amat berkesan
mencium bau tanah
sambil menyaksikan gadis lain bergegas pulang

Mungkin tidak satu gadis
Engkaupun bersama lainnya memenuhi jalan itu
Langkah langkah cepat susul menyusul
Menghitung jarak ke pintu rumah
Di dalamnya kau pastikan terhidang aroma kasur
Nikmatnya memanaskan diri dalam selimut

Di luar sana
Ujung matamu melirik ke bingkai jendela
Membuang desahan
lorong hidup lain
jalan berliku yang kadang kering kadang basah
oleh matahari yang berselimut awan

Tanjung, 4 Januari 2008

Puisi Ahmad Surkati AR

Hidup

Di persimpangan jalan yang berdebu
Keraguan menyeruak arah tujuan
Ke mana harus dilanjutkan musafir ini
Sementara telunjukmu sejak lalu terarah ke kiblat

Matahari di atas sana telah lebih dulu sampai
Di ambang bibir laut kita menduga dia beristirahat
Padahal cahayanya selalu saja menemani harapan
Seperti keyakinan esok hidup terurai kembali

Hanya karena buta serupa pekat malam
Matamu kemudian tidak jalang di baliknya
Geliat hidup berwarna warni
Mereka senantiasa bertawaf
Mengelilinginya.

Tanjung, 5 Januari 2008
TEROMPET
Cerpen Ahmad Surkati AR

Orang memberi nama alat itu dengan kata ‘terompet’. Mungkin suaranya pet pet pet, sehabis dijejali angin yang tercekek. Melihat pipi gembung milik anak ingusan di tengah jalan berdebu, Undal meyakini alat itu ditiup karena satu sebab. Matanya menatap tajam anak dekil berbaju rombeng tengah asyik mengulum ujung dasar benda yang terbuat dari kertas itu. Dia berkali kali meniup keras, tapi suara yang keluar selalu saja kalah nyaring beradu dengan berbagai terompet milik anak lainnya yang ramai lalu lalang naik mobil, atau motor, juga ada diantaranya jalan kaki. Undal tersenyum, dia yakin jika anak itu menikmati rasa asin kertas yang sudah berlumuran air ludahnya sendiri, atau mungkin ludah orang sebelumnya.
“Mengapa kamu meniup kertas ini?” Kata Undal seraya sok akrab menjamah terompet yang kondisi bentuknya tidak rapi lagi.
“Aku menemukannya terinjak di jalan ini.” Mata anak itu memperhatikan sesaat sosok yang menyapanya, kemudian melempar pandangan ke jalan yang kini bertambah ramai.
“Dari tadi aku memperhatikanmu, mengapa kamu mau meniup terompet yang bunyinya tidak nyaring ini. Kau dengar punya mereka, tidakkah suaranya memekakkan telinga? Tangannya menunjuk ke sebuah mobil, di dalamnya dua gadis remaja ceria bermain terompet yang berhias warna warni. Terompet itu ditiup dan diarahkan kepada orang yang dilewati. Seperti memberi tahu jika malam ini adalah malam bermain terompet.
“Aku sebenarnya ingin seperti mereka, naik mobil, meniup terompet yang bagus dan suaranya nyaring. Terompet ini tidak seperti punya mereka. “ Katanya lesu seraya memandangi nanar geliat malam yang tidak biasanya.
“Baiklah, aku paham. Kamu meniup benda ini karena ikut ikutan mereka. Jika mereka tidak datang dengan keadaan membawa terompet, pastilah kamu tidak akan keluar dari tempatmu. Dari persembunyianmu.” Undal menghela nafas panjang. Diam. Menarik lagi lebih dalam, seakan ingin menyimpan udara lebih banyak di dada, persedian menghadapi kejadian selanjutnya.
“Malam apa ini?” Tanya Undal kebingungan, Ada rasa gugup menjalar di dadanya. Dia belum mendapatkan jawaban memuaskan dari anak tadi. Bergelayut tanya pada gerak memanjang manusia yang kompak membawa terompet, bertanda kejadian itu tidak biasanya. Tidak ditemukan pada malam sebelumnya.
“Nak, kamu lebih baik pergi dan bersembunyi. Menurut firasatku, akan terjadi sesuatu yang boleh jadi membahayakan tubuhmu. Cepat naik!.” Pinta Undal. Di matanya, arus manusia yang membanjir kini telah memenuhi jalan raya. Dia takut jika anak kecil itu tenggelam dalam gelombang manusia lalu terinjak-injak.
Undal kemudian berlalu dari anak yang tidak mau ambil pusing dengan ketakutannya. Dia berjalan tergesa, mengikuti arus manusia yang menuju arah Utara kota. Tempat itu sepertinya menjadi tujuan orang orang yang sibuk di malam ini. Tempat berkumpul dengan tujuan yang barang kali sama. Tapi apa mungkin mereka disatukan oleh keinginan. Apa yang membuat orang orang menjadi bergerak menuju satu tempat. Berbagai tanya itu memicu langkah Undal menuju tempat yang sama. Dia ingin tahu apa yang terjadi di sana.
Sambil berjalan, dia berusaha memahami berbagai kejadian yang terasa janggal di matanya. Menurutnya, pasti ada kekuatan besar dari tempat itu yang bekerja menyedot orang orang. Bahkan yang aneh, Undal melihat wajah wajah itu bersuka cita, gembira. Tersenyum dan tertawa. Undal memperhatikan sepasang anak muda yang naik motor laki. Gadis mendekap erat pasangannya. Duduknya agak nakal. Motor berjalan pelan, sejajar dengan langkah Undal.
“ Hai, kawan. Nih, ambil terompet. Tiup keras keras. Kami sudah meniupnya.” Kata gadis seraya melempar benda itu ke Undal. Undal tergagap. Dia tidak siap menerima perintah meniup terompet. Dia belum paham untuk apa meniup terompet. Ada jengkel merasuk hatinya, kenapa gadis itu menyuruh dia yang meniup terompet. Apakah karena alasan malas, lalu memaksa orang lain yang mengerjakannya. Walaupun demikian, Undal tidak tega membiarkan benda itu jatuh dan terinjak. Dengan tangkas tangannya menangkap terompet itu.
“Kita berbagi gembira dan nikmat malam ini.” Tandasnya dihiasi ketawa cekakak cekekek sambil melaju. Tak lupa melambaikan tangan.
“Daahh…..” Undal masih diliputi kebingungan. Sempat matanya menangkap begaimana erat kedua tubuh itu berdempetan di atas motor. Asap mengepul. Debu berterbangan. Suara hiruk pikuk membahana ke langit. Tidak jelas lagi, apakah gelap malam ini semakin hitam karena larut malam atau karena pencemaran.
Tidak lama berselang, setelah pasangan muda tadi hilang dibalik gerombolan orang orang, Kuping Undal dikejutkan suara pet…..pet….pet. Beberapa lelaki di atas pick up berlomba meniup terompet sambil mencari sasaran untuk diberi kejutan. Namun ada yang tidak dapat diterima Undal, mereka seakan bangga dengan ulah yang cenderung mengganggu itu. Ingin dia membalas dengan meniup terompet di tangannya, tapi urung karena mobil itu tidak terkejar oleh kakinya.
“Bunguuul…..!’ Kata itulah yang akhirnya terucap. Terlintas juga keinginan melempar mereka dengan terompet yang ada di tangan kanannya. Memang lumayan berat karena terbuat dari plastik. Bisa membuat bincul kepala. Tapi karena merasa sayang, akhirnya dia memilih menyumpah.
Undal menimang nimang benda itu. Terbayang wajah anak ingusan tadi. Batinnya, anak itu pasti senang jika mendapatkan terompet yang nyaring bunyinya, seperti terompet yang ada di tangannya. Dia memandangi sekali lagi terompet itu. Warnanya merah . Warna yang menarik untuk anak kecil, juga mungkin gadis tadi. Undal memperhatikan dengan seksama, ada basah di ujungnya. Pasti sisa air liur si gadis. Tapi Undal tidak berani mencium baunya, apalagi memasukannnya ke mulut, kemudian menghembuskan angin melalui jalan yang sengaja dibuat kecil. Mungkin karena jalan angin dibuat kecil, maka suara yang keluarpun terdengar nyaring dan terhimpit. Ya, seperti barangkali suara kentotlah.
“Untung saja aku belum meniupnya.” Sepintas ada senyum mengambang di sudut bibirnya. Dalam otak Undal, muncul pemahaman kalau orang orang yang membuyikan terompet itu seperti akan membuang hajat. Namun sebelumnya harus dilalui oleh aksi buang angin busuk.
“ He he.. Apa benar kesimpulanku ini.” Gumam Undal gamang, bibirnya masih digelayuti senyum, tapi senyum yang kini membias garis kecut. Malam merangkak. Bagai bayi tua. Kehadirannya begitu saja. Seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Kecuali geliat yang tercipta. Sesuatu yang bertingkah. Sesekali Undal menatap kelam malam, dia mencari bintang yang entah di mana. Bulan pun gaib. Malam yang menyimpan misteri.
Bukk! Tiba tiba tubuhnya menabrak sesuatu. Tubuh Undal hampir oleng. Sesaat dia memperhatikan benda yang bersentuhan dengannya. Oh, ternyata dia bertabrakan dengan tubuh seorang wanita yang kini berusaha kuat untuk bangkit.
“Saudara buta ya. Masa tidak melihat tubuh sebesar ini.” Kata Wanita terbilang manis itu setelah berhasil berdiri.. Dia kemudian membenahi dirinya, mematutkan pakaian yang dikenakannya. Mungkin dia mengira diantara pakaian yang menutupi tubuhnya ada yang tersibak. Undal serius memperhatikan wanita di depannya. Dia ingin menolong, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
“Tuhan menciptakan mata untuk melihat ke depan. Makanya mata itu letaknya di wajah bukan di belakang kepala, tahu?” Tukasnya sewot sambil sekali lagi mengibas ngibaskan baju. Maksudnya mungkin menghilangkan debu. Undal memperhatikan dengan seksama wajah wanita yang berparas cantik.
“Apa liat liat?” Hardiknya. Undal terkejut.
“ Saudara mau meyakinkan mata, jika yang saudara tabrak tadi adalah gadis cacat. Saya katakan, Tubuh ini memang cacat. Nih, lihat mata ini.” Katanya seraya menyibak rambut dan mendorong wajahnya ke muka. Undal menemukan mata itu memang cacat, seperti ada sesutau yang menutupi bola matannya. Kosong.
“Maaf. Tadi betul betul tidak sengaja. Khilaf. Fokus mataku memang tadi tidak di depan. Ada yang menarik di atas sana he he…” Kata Undal jujur. Berusaha akrab. Dia bertambah yakin jika gadis ini buta, setelah dia melihat sebatang tongkat di tangan kanannya.
“Tidak masalah. Saya maafkan saudara. Sudah biasa ditabrak dan menabrak. Tapi mungkin lebih banyak menabrak. Maafkan saya bila tadi sempat marah.” Gadis itu kemudian menghadap kembali arah jalur orang orang pergi. Ke satu tempat, di mana orang orang seperti tersedot.
“Anda juga mau mengikuti orang orang itu?” Tanya Undal berusaha menyusul. Gadis itu diam sebentar. Kemudian berjalan beriringan dengan langkah Undal.
“Saudara pahamkan jika latarbelakang hidup kita berbeda. Saya belum mengenal saudara, begitu juga gemuruh terompet ini sebenarnya tidak menarik. Mungkin yang membuat saya tertarik adalah apa yang disuarakan hati ini, bahwa akan terjadi sesuatu. Kejadian itulah yang menarik aku melangkah. Aku berusaha mengetahuinya dengan caraku sendiri.” Jelas gadis itu seraya menunggu komentar Undal. Dia memiringkan kepalanya, seperti ingin mendengar suara Undal.
“Aku juga menduga akan terjadi sesuatu. Tapi yang tidak kumengerti mengapa orang orang berirama, kompak, dan seperti ada yang memimpin berjalan ke arah sana. Dan yang aneh mengapa mereka meniup terompet.” Berkata seperti itu, Undal memandang terompet yang kini berada di tangan kiri. Dia mengusup ujung terompet, pemberian sepasang pemuda tadi. Melintas lagi keinginan untuk mengetahui bunyinya, tapi Undal takut meniupnya.
“Jangan bingung! Terompet itu mengeluarkan bunyi. Seperti kita berbicara, menyampaikan maksud melalui suara mulut, mengirim pesan dengan isyarat. Terompet hanyalah alat. Dia bisa menjadi bagian dari musik. Dia juga bisa menjadi tradisi.” Undal merusaha memahami arah bicara gadis yang mengenakan baju hitam.
“Fenomena ini tidak perlu menguras otak. Pikirkan saja mengapa kamu berbicara. Mulutmu itu adalah terompet.” Sambungnya lagi, membuat Undal semakin bernafsu meniup terompet di tangannya.
“Tahukah kamu jika aku sekarang ini memegang sebuah terompet.” Undal menawarkan hal lain. Maksudnya meski Undal memiliki terompet seperti kebanyakan orang orang namun dia berbeda. Tidak meniupnya.
“Mengapa saudara tidak meniupnya? Tidakkah terompet itu untuk ditiup.” Tanya gadis.
“ Aku memang tergoda untuk membunyikannya. Tapi aku tidak akan melakukannya, karena aku belum punya alasan untuk meniupnya. Nanti terompet ini akan kukasihkan saja kepada seorang anak yang tadi berjumpa denganku. Kurasa dia punya alasan meniup terompet. Ya setidaknya, dia ingin mendengar bunyi terompet yang nyaring. Tidak seperti miliknya” Undal melempar pandangan ke orang orang yang semakin memadati jalanan. Dia tidak yakin jika anak ingusan itu sudah bersembunyi, seperti yang dimintanya. Bagaimana mungkin dia mau bersembunyi, sementara orang orang keluar dari rumah rumah yang menyembunyikan mereka selama ini. Undal diserang gundah.
“Maaf, apakah kamu mengetahui alasan khusus mereka meniup terompet? Undal bertambah panasaran.
“Baiklah, tapi ini sekedar pendapatku saja. Jangan saudara hiraukan benar tidaknya. Saya hanya bisa menduga. Saudara harus ingat, pendapatku ini berasal dari kesimpulan yang terbatas. Dan yang pasti, jangan saudara lupakan jika saya memiliki kekurangan. Mataku buta. Kata orang, mata buta tidak bisa melihat. Ya, mataku ini memang tidak bisa melihat. Namun….saudara boleh percaya boleh tidak, jika saya bisa memahami sepenuhnya alasan mereka meniup terompet.”
“Nah, jawaban inilah yang kutunggu tunggu. Katakan cepat!” Undal tidak sabar. Tidak terasa mereka berdua sudah jauh melibatkan diri dalam arus manusia yang bagaikan robot berjalan tertatih tatih ke arah lapangan besar di ibu kota.
“Mereka akan mendemo penguasa langit!” Tandasnya dengan suara dingin.
“Apa iya?” Undal dibuatnya terperanjat. Gadis itu kemudian memberitahu jika telinganya mampu menguak gemuruh dada si peniup terompet, sebelum berubah menjadi angin yang terhimpit di ujung moncong terompet.
“Bahkan menurut pendengaranku, bunyi bunyi terompet saat ini kebanyakan memaksa Tuhan agar tetap menggelar hidup selanjutnya. Meskipun tetap dalam kesengsaraan, peperangan, musibah, dan mungkin juga kebahagian yang semu.” Gadis buta ini kemudian merinci jika terompet kebanyakan dibunyikan dalam keterpaksaan. Terpaksa karena mereka tidak mengerti untuk apa meniup terompet.
“Boleh saja mataku buta, tapi hatiku tidak akan kubuat buta.” Usai berkata itu, gadis yang belum diketahui namanya itu kemudian larut dalam gelombang manusia. Undal kehilangan jejak.
Susah payah Undal mencari gadis buta tadi. Terlebih ketika waktunya sudah tiba. Saat orang orang seperti dikomando membunyikan terompet dan membakar kertas yang berbunyi ledakan terang benderang di atas langit.
“Mereka betul betul melakukannya.” Ucap Undal lirih ditingkahi mulutnya juga meniup terompet.
“Pet… pet…. pet….” Undal kecewa. Bunyinya tidak nyaring.@ Selamat Tahun Baru 2009!

30 Desember 2008

Tahun Baru Lagi

Ternyata berlalu lagi satu tahun. Kita sudah memasuki hari ke 2 dari tahun 1430 H. Karena perputaran masa maka penanggalan moment pergantian tahun Masehi dan Hijriyah berdekatan. Sepertinya di Indonesia, biasanya orang lebih banyak mempersiapkan pergantian tahun Masehi, dari pada Hijriyah, karenanya wajar jika gaung Tahun Islam akhirnya sepi. Bahkan mungkin ada yang tidak mengetahui jika tahun Islam sudah berubah. Kenapa orang orang sibuk menghadapi satu hari yang dikata awal tahun? Ya karena ada kesepakatan bahwa hari itu orang orang akan mengalami perubahan, setidaknya tanggal. Kalau waktunya, ya seperti biasa, bahwa dia tidak pernah kembali, dia selalu berubah, bahkan kita tidak bisa menahannya meski satu detik. Banyak yang bisa dibuat manusia pada satu hari, bahkan Tuhan dalam hitungan menit dapat menghancurkan kehidupan ini. Namun karena bebal, maka manusia hanya bisa mengulang ngulang peristiwa, seperti cerita Israel menyerang Palestina, sudah lama cerita itu, dan di akhir tahun Masehi dan Awal tahun Hijriyah kali ini mereka ingin mengatakan kepada dunia kami tidak beranjak dari sejarah lama, berperang dan menjajah! Apa yang dapat dibuat oleh manusia jika dia menghargai kehidupan dan usia? Tidak lain adalah beriman, beramal shaleh seraya menebarkan kebenaran di muka bumi ini. Allah adalah memilik kehidupan ini. Selamat menjalani hidup dalam tantangan yang semakin berat!

21 Desember 2008

KATA

Siapa yang membuat kata
di lautan bahasa
Siapa yang merangkai kalimat
untuk dibaca

Kita menulis
Kehabisan kata
Tenggelam dalam KalamNya