01 Januari 2009

Puisi Ahmad Surkati AR
Tahun Baru

Diperaslah waktu
Buktinya kita yang lupa jika detiknya berputar
Merangkai menit, jam, hari, bulan, dan tahun
Agar berjatuhan tanggal peristiwa

Diperaslah otak kita
Buktinya kita yang susah payah mengingat masa lampau
Merangkai sejarah beradaban
Para pahlawan yang berguguran menjadi kusuma

Diperaslah keringat kita
Tidak ada bukti kita bekerja memintal hari
Yang terjadi hanya obrolan tahun baru
Bersama pendekar tukang ramal


Tanjung, 09 Januari 2008


Waktu Berputar

Jarak waktu ditarik ke masa lalu
Adalah hal lucu yang menggemaskan
Mengingat kejadian itu pernah terjadi
Semisal bayi montok dirimu kala itu

Jarak waktu dibawa ke masa datang
Adalah hal aneh yang membingungkan
Mengingat kejadian itu belum pernah terjadi
Seperti orang tua berambut ubanan gigi ompong tertawa ngakak

Ketika tidak berjarak sekarang ini
Adalah peristiwa bertumpang tindih
Kesengsaraan, musibah, kemiskinan berwarna warni
Mengingat kebahagian itu belum tergapai
Contoh manusia kebingunan menjalani hidup

Tatkala tidak berwaktu
Maka dunia hilang dari edar
Mengingat saat itu jam kita pun hancur



Tanjung, 09 Januari 2008

Menatap Hujan

Siapa menghentikan mereka
Yang diam dalam wajah tidak dikenal
Menatap dengan hati gundah
Di batas teduh hujan Januari bergelayut lama

Menyela suara rintik
Akhirnya lewat mulutmu manis
Kesangsian melibas telinga mereka
Jika diam ini sia sia

Seperti hujaman runcing air mata langit
Memukul mukul seng dan pohon kering
Di arus angin yang kuat

Inilah setali mata uang
Pantulan dalam cermin yang itu jugaamuk ini adalah bahasanya
sudah terlulis dalam mata

Siapa menghentikan dia
Yang bergerak dalam wajah yang dikenal
Menatap dengan penuh kasih sayang
Wajah kita yang tersedot waktunya



Tanjung, 9 Januari 2008

Tidur Yang Terjaga

Semalaman tidur berselimut gelap
Dia selalu saja terjaga
Begitu tekun
Memperhatikan nafasmu
Menghembus ke semesta angin
Lalu memilih yang bening untuk dikembalikan

Manisnya wajahmu gadis
Dia buat dadamu turun naik
Teratur yang sempurna
Engkau masih pulas saat matahari menjelang pagi
Bersama kuncup bunga berembun dan lainnya
Matamu pun terbuka

Engkau tersenyum
Pagi dimulai
Kicau satwa sahut bersahutan
Sambil melangkah ke kamar mandi
Terbayang lagi mimpimu
Bertemu kekasih

Kutulis puisi ini dengan air mata

Tanjung, 8 Januari 2008

Mata Yang Berair

Kerling matamu mengingatkan bulan sabit
Yang ditanamnya di langit
Di sisi garis putih melengkung
Warna malam begitu penuh
Seperti gadis terbungkus kain hitam
Engkau tebarkan kegaiban

Kubaca jumlah kerlap kerlip sinar lainnya
Selalu saja berakhir tidak tuntas
Jumlah hitungan ini tidak sebanding cintanya
Dalam waktu panjang menyulam bintang
tidak ada yang terlepas

Hanya saja yang jatuh adalah air matamu
membening putih berkilauan
memang tidak semuanya meleleh
untuk lain kali dikuras

Begitulah bulan sabit yang amat indah
Menghujam matamu.


Tanjung, 6 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan nafas dakwah