13 September 2009

BELAJAR MENJADI PENCINTA SEJATI

Belajar Menjadi Pencinta Sejati

Wujud-Nya membias pada segala yang tercipta. Tidak terkecuali pada ego yang merasa sepi. Siapakah ‘aku’ yang merasa ada? Keakuan yang mempertanyakan tuhan tapi tidak sungguh sungguh mencarinya? Ego yang terbiasa tersesat, tapi tetap angkuh. Angkuh bukan karena tidak berilmu, tapi lebih karena ingin menjadi tuhan. Tuhan telah dicipta oleh manusia dalam bentuk beraneka macam. Lalu ada apa dengan Tuhan?

Jika tuhan yang dimaksud adalah Allah, maka Dia seperti dalam keyakinan orang Islam; adalah Tuhan Pemilik Hidup ini. Dia mulia dengan sendirinya karena berbagai sifat keagungan. Maka manusia muslim harus terus memahminya seraya berupaya keras mencintai-Nya secara benar.

Pada shalat, akan ditemukan kepuasaan pengabdiaan muslim yang berakhir pada salam. Maknanya, sampaikan keselamatan kepada orang lain, buah ketidakberdayaan aku yang tertunduk membesarkan Allah. Lantas bagaimana dengan puasa yang tengah kita jalankan? Adakah dia menjadi jalan serupa?

Puasa adalah media belajar mencintai Allah. Kesudahannya adalah status fitrah. Seperti sekolah, anak akan dinyatakan lulus bila usai waktu belajar. Standar kelulusan adalah nilai angka rata rata baik. Begitu pula puasa, akan meluluskan para shaimun dengan syarat nilai minimal di atas ‘tidak sekedar menahan lapar dan haus’.

Berpuasa tidak sekedar menahan lapar dan haus adalah puasa orang dewasa. Puasa yang dapatnya hanya lapar dan haus adalah puasa anak kecil. Tapi inipun baik untuk pendidikan si anak, karena dia sudah belajar memahami nasib orang miskin. Anak selanjutnya akan terdidik biasa dengan kondisi kekurangan bila taqdirnya memang harus dijalani dalam kemiskinan.

Puasa orang dewasa adalah puasa yang membuat dirinya bertambah dekat dengan Allah. Mengapa? Karena saat puasa dia sudah memahami laparnya itu adalah bagian dari mencintai Allah.,meski bagi tubuhnya adalah ‘siksa’. Makanan yang halal tidak disantap, apalagi yang haram. Air segar lagi halal tidak diminum hanya karena ingin memperlihatkan dirinya tahan terhadap godaan. Sekali lagi hanya ingin dinilai oleh Allah; bahwa dirinya taat kepada-Nya.

Kondisi inilah yang akhirnya membiasakan seseorang menata cinta. Tiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap hari, waktunya hanya mencintai Allah. Dia berusaha agar cintanya tidak tergores dengan keakuan. Sebab keakuan itu adalah perusak.@ Ahmad Surkati Ar/Tanjung/29/08/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan nafas dakwah