13 September 2009
BELAJAR MENJADI PENCINTA SEJATI
Wujud-Nya membias pada segala yang tercipta. Tidak terkecuali pada ego yang merasa sepi. Siapakah ‘aku’ yang merasa ada? Keakuan yang mempertanyakan tuhan tapi tidak sungguh sungguh mencarinya? Ego yang terbiasa tersesat, tapi tetap angkuh. Angkuh bukan karena tidak berilmu, tapi lebih karena ingin menjadi tuhan. Tuhan telah dicipta oleh manusia dalam bentuk beraneka macam. Lalu ada apa dengan Tuhan?
Jika tuhan yang dimaksud adalah Allah, maka Dia seperti dalam keyakinan orang Islam; adalah Tuhan Pemilik Hidup ini. Dia mulia dengan sendirinya karena berbagai sifat keagungan. Maka manusia muslim harus terus memahminya seraya berupaya keras mencintai-Nya secara benar.
Pada shalat, akan ditemukan kepuasaan pengabdiaan muslim yang berakhir pada salam. Maknanya, sampaikan keselamatan kepada orang lain, buah ketidakberdayaan aku yang tertunduk membesarkan Allah. Lantas bagaimana dengan puasa yang tengah kita jalankan? Adakah dia menjadi jalan serupa?
Puasa adalah media belajar mencintai Allah. Kesudahannya adalah status fitrah. Seperti sekolah, anak akan dinyatakan lulus bila usai waktu belajar. Standar kelulusan adalah nilai angka rata rata baik. Begitu pula puasa, akan meluluskan para shaimun dengan syarat nilai minimal di atas ‘tidak sekedar menahan lapar dan haus’.
Berpuasa tidak sekedar menahan lapar dan haus adalah puasa orang dewasa. Puasa yang dapatnya hanya lapar dan haus adalah puasa anak kecil. Tapi inipun baik untuk pendidikan si anak, karena dia sudah belajar memahami nasib orang miskin. Anak selanjutnya akan terdidik biasa dengan kondisi kekurangan bila taqdirnya memang harus dijalani dalam kemiskinan.
Puasa orang dewasa adalah puasa yang membuat dirinya bertambah dekat dengan Allah. Mengapa? Karena saat puasa dia sudah memahami laparnya itu adalah bagian dari mencintai Allah.,meski bagi tubuhnya adalah ‘siksa’. Makanan yang halal tidak disantap, apalagi yang haram. Air segar lagi halal tidak diminum hanya karena ingin memperlihatkan dirinya tahan terhadap godaan. Sekali lagi hanya ingin dinilai oleh Allah; bahwa dirinya taat kepada-Nya.
Kondisi inilah yang akhirnya membiasakan seseorang menata cinta. Tiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap hari, waktunya hanya mencintai Allah. Dia berusaha agar cintanya tidak tergores dengan keakuan. Sebab keakuan itu adalah perusak.@ Ahmad Surkati Ar/Tanjung/29/08/2009
KHUTBAH IDUL FITRI 1430 H
الْكَا فِرُوْنَ. اَلْحَمْدُ اللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ وَنُعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيْأَتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَا دِيَ اللهُ. اَشْهَدُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمْدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَي مُحَمْدٍ وَ عَلَي اَلِهِ وَ صَحِْبهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمّاَ بَعْدُ : فَيَا عِبَا دَ اللهِ, اُوْصِيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَي اللهِ فَقَدْ فَازَ اْلمُتَّقُوْنَ.
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Allah Maha Besar, kebesaranNya tak berukur karena dia Sang Penguasa Tungal. Dia yang berhak untuk di puja dan dipuji sebab Allah pemilik pujian. Dari Dia bersumber segala yang dipuja, kepadaNya pula berpulang segala yang dipuji. Al hamdulillah, karena karunia Rabbul ‘alamin, kita hari ini menyaksikan betapa Allah telah menebar rahmat di segala titik wujud segala benda, hingga pagi ini yang menjadi pembatas antara Ramadhan dan Syawal. Satu hari dari sekian panjang kelipatan waktu yang membuat kita tersudut oleh kesadaran “Allah telah bermurah dengan Rahman dan Rahim memanjangkan usia kita sehingga tuntas puasa sebulan penuh, sampai pula diri ini berlebaran, ber-Idul Fitri.” Terimakasih Duhai Sang Pengasih!
Gema takbir, tasbih, tahmid, serta tahlil adalah untaian permata senja, yang mengalun, membahana, menelesup di relung hati. Menyapa kaum beriman, seperti membisikkan hikmah dari Allah “Saatnya berbuka dari panjang waktu beribadah kepada Pengantur Hidup. Reguk nikmat dari Sang pemberi yang telah membebaskan para Muttaqin dari jerat Syaitan, dari kungkungan Neraka. Bergembiralah dengan fitrah raga jiwa yang kini menapak jalan menuju pintu syurga. Hari ini adalah hari kemenangan, hari kebahagian umat Nabi Muhammad SAW. Bergembiralah seraya bershalawat kepada Rasul Kekasih Allah, berirama dengan tasbih para Malaikat, bersuka cita sealam raya, bersyukur seperti syukurnya embun yang sejuk, kicau burung merdu terdengar, dan mekarnya bunga bersama harum mewangi. Sejuta tasbih dari rangkain alam semesta itu tidak pernah surut, selalu saja bergemuruh. Kita pun luruh, tersungkur, mensyukuri nikmat takwa yang baru kita raih dari Allah. Hanya dengan bertaqwa kepadaNya kita terjamin untuk menikmati kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Allahu Akbar, Allah Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd
Jama’ah Shalat Sunnat Yang Dibanggakan Allah!
Hari ini, kita yang bersimpuh di tempat ini, insya Allah seperti bayi yang baru lahir; tidak ada noda, menyenangkan dilihat, begitulah gambaran kesucian Para Shaimuun. Para pencinta Ramadhan, selain adalah kelompok manusia yang berikhtiar menjadi penyabar, ikhlas dalam ibadah, sekaligus manusia abad sekarang yang berempati terhadap masalah social. Penyayang terhadap sesama, sekaligus pendekar kemanusian. Puasa menghantarkan kaum muslimin menjadi Manusia yang bermental suci. Selama berpuasa, terbentuklah akhlakul karimah. Jiwa kita diliputi ketenangan. Saat ini, kita yang merayakan kemenangan ini adalah hamba hamba yang mampu mengendalikan hawa nafsu. Hidup selanjutnya selalu saja bernuansakan ibadah dan mengharap ridhanya. Sucinya jiwa kita hari hendaklah terjaga sampai raga berpisah dengan ruh. Kematian yang berselimut dengan citra Hunsul Khatimah. Hari ini adalah hari yang seharusnya sama ketika kita menghadapnNya. Firman Allah; QS, Al fajr : 27-30.
يَأَيَّّتُهَا النّفْسُ اْلمُطْمَئِنَّةُ ِارْجِعِيْ اِلَي َرّبِكِ رَاِضيَةً مَرِْضيََّةً فَادْخُلِيْ ِفيْ عِبَادِيْ َوادْ خُِليْ جَنَِّتيْ
Wahai jiwa jiwa yang tenang! Kembalillah kepada Tuhanmu dengan penuh ketentraman dan keridhaan. Kembalilah ke dalam jamaah hamba hambaku, untuk bersama di dalam surgaku.
Yah. Puasa sesungguhnya menuntut kita akrab dengan tradisinya. Meski dia hilang, berputar, namun ajarannya tetap selalu terjaga. Bukankah dia kita cinta, sampai Rasul mengisyaratkan jikalau manusia mengetahui kandungan puasa, maka mereka akan berpuasa setahun penuh. Tidakkah di celah celah air mata yang berderai jatuh ke pipi, terselip doa “ Duhai Yang Maha kekal, Al Baaqii, tautkan umurku dengan Ramadhan berikutnya. Dengannya aku bersimpuh sujud kepadaMU, memulikanMu di malam seribu bulan.”
Kita berharap ada umur lagi, karena Ramadhan memberi kesempatan kepada kita memperbaiki kualitas usia. Bukankah dengan menghkatamkan Al Qur’an, maka atas dasar Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan, kita berhak mendapat jaminan, umur bertambah sekitar 80 tahun dalam ibadah, khususnya membaca Al Qur’an. Malam itu kita bertahajud, maka tahajud kita adalah shalat sunat yang panjang, sekitar 80 tahun. QS. Al Qadr, ayat 3.
َليْلَة ُاْلقَدِْر خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan
Sidang Idul Fitri Yang Dimuliakan Allah.
Allahu Akbar, Allah Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd
Hari terakhir Ramadhan telah selesai. Hari ini kita bergembira, besok dan hari selanjutnya kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada diri kita. Suasana bahagiakah yang kita nikmati, atau justru berbagai rupa kesedihan yang akan mendera kita. Namun yang sudah pasti, kita tidak akan lagi menyaksikan di sebelas bulan ke depan umat Islam sedunia bersatu saat memulai puasa dengan makan sahur, berbuka puasa kala azan magrib dikumandangkan. Kita tidak akan menemukan suasana orang berduyun duyun mendatangi mushalla, masjid untuk shalat isya dan tarawih. Mata kita tidak akrab lagi dengan pemandangan orang orang yang rajin beriktikaf di masjid, Membaca Al Qur’an. Telinga kita pun nantinya jarang mendengar ceramah agama yang ditayangkan televise, disiarkan radio. Kecuali kita berumur panjang kemudian bertemu lagi Ramadhan selanjutnya, maka suasana penuh kebaikan itu akan kita nikmati lagi.
Pertanyaan yang harus kita jawab, realita sehari hari, bagaimana dengan ibadah kita? Apakah Ramadhan yang berulang kali kita temui selama hidup ini telah mendidik kita menjadi ahli ibadah? Adakah kita pelaku tahajud yang tercatat telah 10 tahun menjaga tahajut tanpa absent. Apakah selama ini umur kita habiskan untuk membaca Al Qur’an? Adakah diantara sujud dan zikir kita kepada Allah dilalui dengan rindu dan cinta, sehingga air mata berlinangan, tak mampu menyimpan rasa lemah, dhaif di hadapan Allah, Al Qahar, Al Jabar.
Kaum Muslimin wal Muslimat, yang Dirakmati Allah
Menangis adalah ungkapan paling jujur tentang suara batin manusia, yang melambangkan kepasrahan total seorang hamba pada Rabbnya. Menangis juga ungkapan dari perasaan yang benar benar khusuk, yang mudah tersentuh oleh kebenaran halus dan agung yang menyelinap ke dalam kalbu. Mari kita simak baik baik sepenggal cerita dari sahabat Ibnu Mas’ud yang menceritakan Rasulullah, teladan kita semua juga tidak jarang menangis. Suatu saat Rasulullah SAW berkata kepadanya
“Bacakan padaku Al Qur’an!”
“Bagaimana mungkin kubacakan Al Qur’an untukmu, bukankah ia turun kepadamu?”
“Benar, namun aku ingin sekali mendengarnya dari selainku. “ Jawab Rasulullah. Lantas Ibnu Mas’ud membaca surah An Nisa, hingga ayat 41,
َفكَيْقَ ِإذَا ِجئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ ِبَشهِيْدٍ وَ ِجئْنَا ِبكَ هَؤُلَاءِ َشِهْيدًا, قَالَ حَسْبُكَ اَلْانَ فَاْلتَفَتُّ ِاَليْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذِْرفَاِن
Mendengar ayat tadi, Rasulullah pun bersabda “Cukup, cukup sampai di sini….” Dan sekonyong konyong air bening berleleran dari kedua kelopak mata beliau. Rasul menangis ( H.R. Bukhari)
Kaum Muslimin, adakah diantara kita yang menjalani puasa sebulan tadi bangun di tengah malam lalu bertahajud, dan membaca Al Qur’an. Melalui suara yang pelan, dan istigfar yang ikhlas, air mata kemudian berleleran membasahi pipi dan jatuh perlahan di sajadahnya. Beruntunglah mereka yang pernah mempersembahkan air matanya untuk Allah, karena itu bukti dirinya yang ikhlas menyembah Allah dan Allah akan membalasnya dengan memberi naungan pada hari kiamat.
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, belia bersabda, “ Ada tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naunganNya yaitu; pemimpin yang adil, remaja yang senantiasa beibadah kepada Allah Ta’ala, seorang yang hatinya senantiasa dipertautkan dengan masjid, dua orang yang saling cinta mencintai karena Allah di mana keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang laki laki yang ketika di rayu oleh seorang wanita bangsawan dan rupawan lalu menjawab “Sungguh aku takut kepada Allah”, seorang yang mengeluarkan sedekah lantas disembunyikannya sampai sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang berzikir kepada Allah di tempat yang sunyi kemudian kedua matanya mencucurkan air mata ( H.R. Bukhari dan Muslim )
َورَجَلٌ ذَكَرَ اللهَ خَاِليا فَافَضَتْ عَيْنَاهُ
Atau jangan jangan kita tidak pernah menangis untuk Allah selama ini, kalau toh ada air mata yang tumpah itu bukan karena Allah, tatapi karena dunia yang terampas dari kita, musibah yang mendera, orang yang kita cintai pergi, meninggal dunia, harta ludes karena ditipu, rumah yang kebakaran. Kita menangisi itu semua, kita bersedih karena sesuatu yang tidak bernilai abadi. Kita tidak pernah menangisi diri yang banyak dosa, kita tidak bersedih karena anak kita bukan menjadi anak yang saleh salehah, kita jarang menyesali sikap kita yang selama ini tidak memperdulikan orangtua. Orang tua yang kini uzur itu kita biarkan dalam kesendirian mereka. Mereka yang tadinya membesarkan kita, kini pasrah dalam ketuan mereka. Jika mereka sudah tiada di dunia, kita pun menganggap biasa biasa saja. Adakah doa yang rutin kita panjatkan kepada Allah agar merahmati mereka yang terkubur saat ini. Termasukkah kita orang yang rajin menziarahi kuburan mereka. Begitu juga apakah kita orang yang menjadikan pelajaran setiap ada teman se kantor, teman sepermain yang lebih dulu menghadap Allah . Kita mungkin sebaliknya masih tertawa tawa, senang membangun kebahagian semu di dunia, tidak perduli dengan sikap itu ada orang, tetangga kita yang kemudian menderita. Kita sibuk memperkaya diri, kita mengira di dunia ini kehidupan itu. Tidak pernah yakin jika ada kehidupan lain yang menjelang bahkan lebih abadi. Kita tidak pernah mempersiapkan bekal di alam barzah, penantian yang teramat panjang. Ingatlah sebuah hadist Rasul
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : خَطَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ خُطْبَةً مَا سَمِعْتُ قَطّ,ُ فَقَالَ لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلًا َولَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا فَغَّطَي أَصْحَابُ َرسُوِْلِ اللهِ عَلَيْهِ وَ َسلَمَ وُجُوْهُهُمْ لَهُمْ خَنِيْنٌ
Dari Anas R.A., ia berkata : “Rasulullah SAW pernah berkhutbah yang luar biasa di mana saya belum pernah mendengar khutbah yang seperti itu, di mana beliau bersabda, “Seandainya kamu sekalian mengetahui apa yang kuketahui niscaya kamu sekalian akan sedikit tertawa dan pasti akan banyak menangis.” Anas berkata lagi, “Maka para sahabat Rasulullah SAW, menutup mukanya, sambil terisak isak karena menangis. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Allahu Akbar, Allah Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd
Kaum Muslimin Rahimakumullah,
Atau jangan jangan kita termasuk orang yang meninggalkan shalat, bahkan shalat yang diwajibkan. Kita tidak meyakini sepenuhnya amanah kewajiban shalat yang dibebankan. Kita penggangap sepele hadist Rasul yang mengatakan shalat adalah amal pertama yang dihisap, jika diperiksa ternyata shalat beres maka dinilai baiklah seluruh ibadah lainnya, tapi jika shalatnya ditemukan tidak sempurna, maka diangap ibadah lainnya tidak jauh berbeda. Mungkinkah kita selama ini menjadi hamba yang tidak pandai bersyukur. Bersedekah, tapi kita minta dipuji, menuntut ilmu untuk dikatakan terpelajar. Mencari kekayaan dunia, takut kelaparan, sehingga membutakan mata jika dalam harta yang berlimpah itu ada hak fakir miskin. Atau kita yang takut dengan kemiskinan lalu memperkosa hak orang lain, kita maling, kita korupsi, kita zhalim. Mengangap harta sehala galanya. Hartalah ukuran segala sesuatu, mencari menantu yang kaya, anak dimanja dengan pemenuhi segala keinginannya, mengangap hina orang miskin. Tidak lagi mampu membedakan antara halal dan haram, baik buruk, surga neraka. Orang ini diperbudak harta dan kekayaan. Allah berfirman :
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَا اَوْلَادُكُمْ عَنْ ِذكْرِ اللهِ وَ مَنْ يَّفْعَلْ ذَاِلكَ فَاُوْلَئِكَ هُمُ اْلخَاِسُرْونَ
Hai orang orang yang beriman, janganlah harta hartamu, dan anak anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang orang yang rugi ( Al Munafiqun ; ayat 9 )
Supaya kita tidak ditipu oleh harta yang selama ini kita cari, maka Ramadhan mengajari kita untuk berbagi dan merasakan beratnya penderitaan saudara kita yang karena nasib mereka distatuskan fakir miskin. Puasa menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap sesama umat manusia. Orang kaya yang hari harinya terbiasa makan dan minum dengan menu yang lezat, anak, di bulan Ramadhan dilatih untuk merasakan lapar dan dahaga agar ia mengerti daan peduli dengan kemiskinan. Lalu terpanggillah nuraninya menyantuni sekaligus memberi makan orang orang fakir miskin. Dia keluarkan zakatnya, diberikan sedekah. Dia menginfakkah hartanya di jalan Allah. Dan puasa belum dinilai sempurna jika belum dilengkapi dengan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Hadist Rasulullah ; Rasulullah mewajibakn zakat fitrah sebagai pembersih bagi yang berpuasa dari hal hal yang tidak bermanfaat dan kata kata keji (yang dikerjakan waktu puasa) dan bantuan makanan untu fakir miskin ( Hadist Hasan, riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)
Lalu jika sudah demikian, mengapa kita menjadi orang yang menyia nyia kan Ramadhan tadi. Kita bahkan berharap puasa cepat berakhir, sebab dia menyiksa perut kita, membuat dahaga tenggorokkan. Bahkan ada diantara kita yang tidak puasa karena enggan melaksanakan perintah Allah. Na’uzubillah min zalik! Bagaimana kalau akhirnya Allah kemudian mencabut nyawa kita sementara kita tidak berbekal. “Duhai Allah, Engkau maha Pengampun, Engkau pula yang mengtaqdirkan sesuatu. Ampuni kami wahai Al Gafur. Beri kesempatan kami untuk beribadah.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah!
Hidup ini untuk pengabdian. Beribadah. Allah adalah Tuhan yang karus kita sembah, tapa sedikitpun mensyarikatkanNya. Ini adalah harga mati untuk seorang mu’min. Firman Allah dalam Al Qur’an surat Az Zumar, ayat 11 dan Adz Dzaariyaat, ayat, 56.
ُقلْ اِنِّيْ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ
Katakan olehmu, bahwasanya aku diperintahkan menyembah Allah seraya mengikhlaskan taat kepadNya
َومَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَاْلِاْنسَ إِلَّا ِلَيعْبُدُوْنَ
Dan aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku
Karena dari sana akan tercipta penghambaan total kepada Sang Pencipta. Mu’min yang mampu seperti ini, adalah hamba yang ikhlas dalam ibadah. Maka dalam pelaksanaannya dia terbebas dari segala belenggu kepentingan. Orang yang ikhlas dalam beribadah adalah manusia yang sekaligus berkarakter penyabar. Ternyata yang terjadi adalah puasa juga mendidik kita menjadi orang yang ikhlas dan penyabar. Karena itu puasa memiliki nilai tersendiri di sisiNya. Seperti yang disabdakan rasul melalui hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya, bau mulut seseorang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada harumnya misk. Allah telah berfirman mengenai orang yang berpuasa “Ia meninggalkan syahwatnya, makannya dan minumannya demi aku. Maka puasa adalah milikku, dan aku sendiri yang akan memberinya pahala.”
فَاالصَّوْمُ ِليْ وَاَنَا اَجْزِيْ بِهِ
Wajar, bila akhirnya orang yang berpuasa akan mendapatkan pintu surga yang bernama Arrayyan, sebagaimana yang dijanjikan Rasul. Karena dia ikhlas dan sabar membiarkan mulutnya berbau tidak sedap, lapar dan dahaga. Istrinya dan suaminya tidak saling sentuh dengan nafsu, meski halal. Begitupula makanan dan minuman akan disantapnya penuh syukur saat tiba waktunya berbuka.
Keadaan inilah yang mesti menjadi kesan pribadi mereka yang berpuasa. Dia bawa dalam 11 bulan kemudian. Maka insya Allah, kebahagian hari ini, fitrahnya tidak akan dirusak oleh Syaitan sebab dia mendapatkan hikmah dari Tuhannya, bahwa selama berpuasa Syaitan dan Iblis terikat/terpenjara. Dia berpuasa setahunan, artinya selama itu pula dia mampu membentengi dirinya dari godaan musuh manusia itu. Dia mampu menghindari neraka, pintunya seakan tertutup selamanya, karena nafsunya dapat dikendalikan. Hidupnya optimis, penuh semangat karena visinya adalah penghuni syurga yang bertaburan dengan kenikmatan. Maka dia akan menjadi pelaku amal shaleh selamanya, hingga tutup usia dalam husnul khatimah. Semoga!
بَارَكَ اللهُ ِليْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْانِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَاِيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ اْلحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ ِانَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ ِليْ وَلَكُمْ وَ لِسَاِئِر اْلمُسْلِمِيْنَ اْلمُسْلِمَاتِ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فِاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ وَقُلْ رَبِّ إغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
Berzikir Habis Habisan
Judul tulisan di atas kurang lebih sama mengingat Allah hingga ke tulang sumsum. Atau bisa juga memakai kata tuntas…tas…tas…tas (bukan tempat sesuatu yang disebut tas. Maksudnya pesan yang ditangkap sampai tetes terakhir). Mengapa kita perlu berzikir sehebat itu? Karena bila diukur dengan sesuatu yang dibutuhkan, tentu belum sebanding dengan cara Allah memperhatikan kita. Lho, kok bisa? Ketahuilah kerja kehidupan ini bukan tidak memakai energi, justru sedetik lengah, maka BENCANA!
Lihat burung yang mengangkasa! Tidakkah ia membutuhkan udara. Udara yang nyaman tentunya. Belum lagi bila diperlihatkan betapa burung sangat membutuhkan obyek makanan yang dihajatkan. Ia akan pergi sesuai insting yang dikuatkan oleh Allah. Sungguh tidak ada makhluk Allah yang mati kelaparan. Kalau toh ada kelaparan, bukan karena Allah tidak mampu menyediakan bahan makanan, namun dipastikan ada penyimpangan manusia yang memotong rantai kehidupan burung tersebut.
Di pagi buta, ketika kehidupan diurai dari selimut malam, burung burung mengepakan sayapnya sebagai tasbih. Ketika pergi mencari tebaran manfaat Allah, burung pasrah total. Ketika pulang, dia akan membesarkan anaknya. Subhanllah! Perhatikan bagaimana burung membuat sarang agar terhindar panas dan dingin. Padahal mereka tidak berpikir, namun Allah mencukupkan kemampuan beradaptasinya Burung hidup dalam rangka memberikan manfaat bagi kehidupan ini, hingga kicaunya menakjubkan manusia, hingga cantiknya menawan hati pemuja, sampai melupakan hakikat burung lalu memenjarakan mereka demi kesenangan.
Zikir yang paling afdhal adalah zikir tauhid; tidak ada tuhan kecuali Allah. Zikir ini sebenarnya dahsyat! Karena meniadakan yang lain memutlakkan Allah. Bunyinya pun menghentak hentak, bergemuruh dan menghujam ke dada. Hati terasa teriris iris sebelum damai yang berubah nikmat. Zikir untuk hati, selanjutnya dialirkan ke tubuh sampai tulang sumsum. Tulang belulang bergerak karena hati. Hati yang dipenuh mengingat Allah, maka dengan sendirinya mengikat anggota tubuh berirama dengan tasbih tasbih yang menggema di jagat raya.
Tempaan zikir seperti ini membuat seseorang merasa tidak memiliki apa apa. Hidupnya seratus persen berhajat kepada Allah. Karenanya dia tidak pernah berhenti berzikir. Keyakinannya bila berhenti zikir walau sesaat, maka dia akan menuhankan sesuatu yang bukan tuhan. Maka apa yang terjadi, dia akan melakukan apa saja asal bernilai baik di sisi Pemilik Hidup. Seperti Rasul Muhamamd yang sudah membuktikan kedahsyatan zikir dalam segala ruang hidup dan tarik nafasnya. Bagaimana dengan kita?@ Ahmad Surkati AR/Tanjung/31/08/2009/
03 Januari 2009
Buat Saudaraku Yang Menyaksikan Palestina
01 Januari 2009
Tahun Baru
Diperaslah waktu
Buktinya kita yang lupa jika detiknya berputar
Merangkai menit, jam, hari, bulan, dan tahun
Agar berjatuhan tanggal peristiwa
Diperaslah otak kita
Buktinya kita yang susah payah mengingat masa lampau
Merangkai sejarah beradaban
Para pahlawan yang berguguran menjadi kusuma
Diperaslah keringat kita
Tidak ada bukti kita bekerja memintal hari
Yang terjadi hanya obrolan tahun baru
Bersama pendekar tukang ramal
Tanjung, 09 Januari 2008
Waktu Berputar
Jarak waktu ditarik ke masa lalu
Adalah hal lucu yang menggemaskan
Mengingat kejadian itu pernah terjadi
Semisal bayi montok dirimu kala itu
Jarak waktu dibawa ke masa datang
Adalah hal aneh yang membingungkan
Mengingat kejadian itu belum pernah terjadi
Seperti orang tua berambut ubanan gigi ompong tertawa ngakak
Ketika tidak berjarak sekarang ini
Adalah peristiwa bertumpang tindih
Kesengsaraan, musibah, kemiskinan berwarna warni
Mengingat kebahagian itu belum tergapai
Contoh manusia kebingunan menjalani hidup
Tatkala tidak berwaktu
Maka dunia hilang dari edar
Mengingat saat itu jam kita pun hancur
Tanjung, 09 Januari 2008
Menatap Hujan
Siapa menghentikan mereka
Yang diam dalam wajah tidak dikenal
Menatap dengan hati gundah
Di batas teduh hujan Januari bergelayut lama
Menyela suara rintik
Akhirnya lewat mulutmu manis
Kesangsian melibas telinga mereka
Jika diam ini sia sia
Seperti hujaman runcing air mata langit
Memukul mukul seng dan pohon kering
Di arus angin yang kuat
Inilah setali mata uang
Pantulan dalam cermin yang itu jugaamuk ini adalah bahasanya
sudah terlulis dalam mata
Siapa menghentikan dia
Yang bergerak dalam wajah yang dikenal
Menatap dengan penuh kasih sayang
Wajah kita yang tersedot waktunya
Tanjung, 9 Januari 2008
Tidur Yang Terjaga
Semalaman tidur berselimut gelap
Dia selalu saja terjaga
Begitu tekun
Memperhatikan nafasmu
Menghembus ke semesta angin
Lalu memilih yang bening untuk dikembalikan
Manisnya wajahmu gadis
Dia buat dadamu turun naik
Teratur yang sempurna
Engkau masih pulas saat matahari menjelang pagi
Bersama kuncup bunga berembun dan lainnya
Matamu pun terbuka
Engkau tersenyum
Pagi dimulai
Kicau satwa sahut bersahutan
Sambil melangkah ke kamar mandi
Terbayang lagi mimpimu
Bertemu kekasih
Kutulis puisi ini dengan air mata
Tanjung, 8 Januari 2008
Mata Yang Berair
Kerling matamu mengingatkan bulan sabit
Yang ditanamnya di langit
Di sisi garis putih melengkung
Warna malam begitu penuh
Seperti gadis terbungkus kain hitam
Engkau tebarkan kegaiban
Kubaca jumlah kerlap kerlip sinar lainnya
Selalu saja berakhir tidak tuntas
Jumlah hitungan ini tidak sebanding cintanya
Dalam waktu panjang menyulam bintang
tidak ada yang terlepas
Hanya saja yang jatuh adalah air matamu
membening putih berkilauan
memang tidak semuanya meleleh
untuk lain kali dikuras
Begitulah bulan sabit yang amat indah
Menghujam matamu.
Tanjung, 6 Januari 2008
